Senin, 01 Juli 2013
Dewa Matahari di Perayaan Tahun Baru & Pandangan Islam
Do you like this story?
Wabah itu bukan flu
burung, bukan juga kelaparan, tapi wabah penyakit akhir tahun yang kita biasa
sebut dengan tradisi perayaan tahun baruan. Kaum muda pun tak ketinggalan
merayakan tradisi ini. Kalo yang udah punya gandengan merayakan dengan
jalan-jalan konvoi keliling kota, pesta di restoran, kafe, warung (emang ada
ya?)
Kalo yang jomblo
yaa.. tiup terompet, baik terompet milik sendiri ataupun minjem (bagi yang
nggak punya duit).Kalo yang kismin, ya minimal jalan-jalan naik truk bak sapi lah,
sambil teriak-teriak nggak jelas.
Dan bagi kaum adam
yang normal menurut pandangan jaman ini, kesemua perayaan itu tidaklah lengkap
tanpa kehadiran kaum hawa. Karena seperti kata iklan “nggak ada cewe, nggak
rame”
Bahkan di kota-kota
besar, tak jarang setelah menunggu semalaman pergantian tahun itu mereka
mengakhirinya dengan perbuatan-perbuatan terlarang di hotel atau motel
terdekat.Yah itulah sedikit
cuplikan fakta yang sering kita lihat, dengar, dan rasakan menjelang
malam-malam pergantian tahun. Ini dialami oleh kaum muslimin, khususnya para
anak muda yang memang banyak sekali warna dan gejolaknya. Nah, sebagai
pemuda-pemudi muslim yang cerdas, agar kita nggak salah langkah di tahun baruan
ini, maka kita harus menyimak gimana seharusnya kita menyikapi momen yang satu
ini.
Asal muasal tahun baruan
Awal muasal tahun
baru 1 Januari jelas dari praktik penyembahan kepada dewa matahari kaum Romawi.
Kita ketahui semua perayaan Romawi pada dasarnya adalah penyembahan kepada dewa
matahari yang disesuaikan dengan gerakan matahari.
Sebagaimana yang
kita ketahui, Romawi yang terletak di bagian bumi sebelah utara mengalami 4
musim dikarenakan pergerakan matahari. Dalam perhitungan sains masa kini yang
juga dipahami Romawi kuno, musim dingin adalah pertanda ’mati’ nya matahari
karena saat itu matahari bersembunyi di wilayah bagian selatan khatulistiwa.
Sepanjang bulan
Desember, matahari terus turun ke wilayah bahagian selatan khatulistiwa
sehingga memberikan musim dingin pada wilayah Romawi, dan titik tterjauh
matahari adalah pada tanggal 22 Desember setiap tahunnya. Lalu mulai naik
kembali ketika tanggal 25 Desember. Matahari terus naik sampai benar-benar
terasa sekitar 6 hari kemudian.
Karena itulah Romawi
merayakan rangkaian acara ’Kembalinya Matahari’ menyinari bumi sebagai perayaan
terbesar. Dimulai dari perayaan Saturnalia (menyambut kembali
dewa panen) pada tanggal 23 Desember. Lalu perayaan kembalinya Dewa Matahari (Sol Invictus) pada tanggal 25 Desember. Sampai tanggal
1-5 Januari yaitu Perayaan Tahun Baru (Matahari Baru)
Orang-orang Romawi merayakan Tahun Baru ini biasa
dengan berjudi, mabuk-mabukan, bermain perempuan dan segala tindakan keji penuh
nafsu kebinatangan diumbar disana. Persis seperti yang terjadi pada saat ini.
Ketika Romawi
menggunakan Kristen sebagai agama negara, maka terjadi akulturasi agama Kristen
dengan agama pagan Romawi. Maka diadopsilah tanggal 25 Desember sebagai hari
Natal, 1 Januari sebagai Tahun Baru dan Bahkan perayaan Paskah (Easter Day), dan banyak perayaan dan simbol serta
ritual lain yang diadopsi.
Bahkan untuk
membenarkan 1 Januari sebagai perayaan besar, Romawi menyatakan bahwa Yesus
yang lahir pada tanggal 25 Desember menurut mereka disunat 6 hari setelahnya
yaitu pada tanggal 1 Januari, maka perayaannya dikenal dengan nama ’Hari Raya
Penyunatan Yesus’ (The Circumcision Feast of Jesus)
Pandangan Islam terhadap Perayaan Tahun Baru
'Ala kulli hal, yang ingin kita sampaikan disini adalah bahwa ’Perayaan Tahun Baru’ dan derivatnya bukanlah berasal dari Islam. Bahkan berasal dari praktek pagan Romawi yang dilanjutkan menjadi perayaan dalam Kristen. Dan mengikuti serta merayakan Tahun baru adalah suatu keharaman di dalam Islam.
'Ala kulli hal, yang ingin kita sampaikan disini adalah bahwa ’Perayaan Tahun Baru’ dan derivatnya bukanlah berasal dari Islam. Bahkan berasal dari praktek pagan Romawi yang dilanjutkan menjadi perayaan dalam Kristen. Dan mengikuti serta merayakan Tahun baru adalah suatu keharaman di dalam Islam.
Dari segi budaya dan
gaya hidup, perayaan tahun baruan pada hakikatnya adalah senjata kaum kafir
imperialis dalam menyerang kaum muslim untuk menyebarkan ideologi setan yang
senantiasa mereka emban yaitu sekularisme dan pemikiran-pemikiran turunannya
seperti pluralisme, hedonisme-permisivisme dan konsumerisme untuk merusak kaum
muslim, sekaligus menjadi alat untuk mengeruk keuntungan besar bagi kaum
kapitalis.
Serangan-serangan
pemikiran yang dilakukan barat ini dimaksudkan sedikitnya pada 3 hal yaitu (1)
menjauhkan kaum muslim dari pemikiran, perasaan dan budaya serta gaya hidup
yang Islami, (2) mengalihkan perhatian kaum muslim atas penderitaan dan
kedzaliman yang terjadi pada diri mereka, dan (3) menjadikan barat sebagai
kiblat budaya kaum muslimin khususnya para pemuda.
Ketiga hal tersebut
jelas terlihat pada perayaan tahun baru yang dirayakan dan dibuat lebih megah
dan lebih besar daripada hari raya kaum muslimin sendiri. Tradisi barat
merayakan tahun baru dengan berpesta pora, berhura-hura diimpor dan diikuti
oleh restoran, kafe, stasiun televisi dan pemerintah untuk mangajarkan kaum
muslimin perilaku hedonisme-permisivisme dan konsumerisme.
Kaum muslim dibuat
bersenang-senang agar mereka lupa terhadap penderitaan dan penyiksaan yang
terjadi atas saudara-saudara mereka sesama muslim. Dan lewat tahun baruan ini
pula disiarkan dan dipropagandakan secara intensif budaya barat yang harus
diikuti seperti pesta kembang api, pesta minum minuman keras serta film-film
barat bernuansa persuasif di televisi.
Semua hal tersebut
dilakukan dengan bungkus yang cantik sehingga kaum muslimin kebanyakan pun
tertipu dan tanpa sadar mengikuti budaya barat yang jauh dari ajaran Islam.
Anggapan bahwa tahun baru adalah “hari raya baru” milik kaum muslim pun telah
wajar dan membebek budaya barat pun dianggap lumrah.
Walhasil, kaum secara i’tiqadi
dan secara logika seorang muslim tidak layak larut dan sibuk dalam perayaan
haram tahun baruan yang menjadi sarana mengarahkan budaya kaum muslim untuk
mengekor kepada barat dan juga membuat kaum muslimin melupakan masalah-masalah
yang terjadi pada mereka.
Dan hal ini juga termasuk
mengucapkan selamat Tahun Baru, menyibukkan diri dalam perayaan tahun baru,
meniup terompet, dan hal-hal yang berhubungan dengan kebiasaan orang-orang
kafir. Wallahua’lam
By Ustdz felixsiauw
This post was written by: Rahil Anouar
Rahil Anouar is a professional blogger, web designer and Linux user. Follow him on Twitter
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Responses to “Dewa Matahari di Perayaan Tahun Baru & Pandangan Islam”
Posting Komentar